Akhir 2018 yang lalu, telah 18 tahun usia implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di era Reformasi secara resmi dimulai sejak 1 Januari 2001. Untuk menyelaraskan dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah, peraturan mengenai otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia senantiasa mengalami perubahan. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia terakhir diatur dengan Undang-Undang No 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Berdasarkan pidato penjelasan pemerintah terkait RUU APBN dan Nota Keuangan 2019 dalam Sidang Paripurna DPR, Presiden Joko Widodo menjelaskan, belanja negara 2019 akan diarahkan pada upaya penguatan program perlindungan sosial, peningkatan kualitas sumber daya manusia, percepatan pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, dan penguatan desentralisasi fiskal.
Penguatan desentralisasi fiskal ini ditandai dengan perencanaan alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dalam RAPBN 2019 sebesar Rp 832,3 triliun. Jumlah tersebut meningkat 9 persen dari perkiraan realisasi pada 2018 atau meningkat 45,1 persen dari realisasinya pada 2014 sebesar Rp573,7 triliun. Transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Sumber Daya Alam, dan Dana Otoritas Khusus. Dengan jumlah sebesar itu artinya pemerintah telah menaruh kepercayaan tinggi bagi daerah untuk secara mandiri menjalankan kewenangan yang dilimpahkan kepadanya di semua bidang kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, serta keagamaan.
Namun, kondisi yang diharapkan ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan. Keadaan tersebut justru membuat daerah ketergantungan terhadap dana transfer dari pemerintah pusat. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, ketergantungan daerah terhadap TKDD masih sangat tinggi. Secara rata-rata nasional, ketergantungan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) terhadap TKDD sebesar 80,1%. Sementara, kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) hanya sekitar 12,87%. Implisit, pemerintah daerah cenderung pasif dalam mengelola potensi PAD-nya.
Ironisnya ketergantungan fiskal terhadap pusat justru lebih parah terjadi pada pemerintah daerah kota/kabupaten. Padahal, level kota/kabupaten inilah titik berat otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diletakkan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Ironisnya lagi dominasi transfer dari pusat tidak diikuti dengan perbaikan pengelolaannya (governance). Riset empiris Bank Dunia (2001) menunjukkan tingginya ketergantungan pada transfer berbanding terbalik dengan governansinya. Maksudnya, pemerintah daerah akan lebih berhati-hati dalam mendayagunakan PAD daripada dana transfer yang diterima dari pusat.
Kondisi d iatas membuahkan pertanyaan, apakah otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia sudah efektif? Bukankah pemerintah daerah yang berhasil adalah yang mampu membiayai pengeluarannya sendiri melalui PAD yang didapatkannya?
Menilik kondisi di Indonesia saat ini, terdapat beberapa penyebab terjadinya ketergantungan fiskal dan solusi yang mungkin bisa dilakukan pemerintah, dijabarkan sebagai berikut. Pertama, tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan. Semua pajak utama yang paling produktif, baik pajak langsung maupun tidak langsung ditarik oleh pemerintah pusat. Pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan).
Perusahaan-perusahaan banyak tersebar di daerah-daerah, transaksi-transaksi penjualan banyak terjadi di daerah-daerah, namun setiap penerimaan pajaknya merupakan pajak pemerintah pusat. Sedangkan Pajak Daerah sebenarnya jumlahnya cukup beragam, namun hanya sedikit yang dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan, misalkan pajak hotel dan restoran. Sedangkan pajak sarang burung walet misalnya, itu sangat kecil sekali realisasi penerimaannya.
Pemerintah daerah dibatasi ruangnya untuk mengkreasikan sumber-sumber penerimaan atau memperluas basis penerimaan hanya pada yang tercantum dalam UU No 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal tersebut membatasi anggaran pemerintah daerah untuk membiayai seluruh pengeluarannya khususnya daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya alam. Melihat hal tersebut perlu adanya perbaikan formulasi kebijakan di bidang pendapatan daerah melalui pengembangan pajak dan retribusi daerah yang harmonis dengan pajak pusat agar menjadi signifikan untuk dijadikan andalan pendapatan daerah.
Kedua, kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah. Berdasarkan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang dimaksud dengan perusahaan daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya diimiliki oleh pemerintah daerah. Tujuan pendirian perusahaan daerah adalah mencari laba untuk dana pembangunan daerah. Hal yang memungkinkan kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah adalah kinerjanya yang kurang memadai serta daya saing dari kompetitor.
Pemerintah daerah perlu melakukan analisis kinerja salah satunya menggunakan Balance Scorecard, analisis kinerja menggunakan empat dimensi pengukuran dari segi keuangan, operasi internal, perspektif konsumen, serta inovasi. Sehingga perusahaan dapat berkembang mengikuti kondisi ekonomi saat ini. Pemerintah daerah juga perlu melakukan kebijakan yang kondusif untuk pengembangan perusahaan menjadi perusahaan yang profesional, dan secara operasional melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja kunci perusahaan yang mampu mendorong daya saing.
Ketiga, ketergantungan fiskal bisa juga bersumber dari perkembangan penduduk yang tidak diikuti dengan peningkatan penerimaan negara. Seperti kita ketahui, Dana Alokasi Umum (DAU) untuk setiap daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal (
fiscal gap) dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal. Sementara alokasi dasar dihitung berdasarkan nilai gaji PNS daerah.
Sebuah penelitian oleh Jaka Sriyana merancang kapasitas transfer fiskal, khususnya DAU, yang merupakan bagian terbesar transfer fiskal pemerintah pusat kepada daerah. Dari hasil kajian ini diketahui bahwa kapasitas transfer fiskal dari pemerintah pusat tidak sebanding dengan perkembangan kebutuhan fiskal kota dan kepada kabupaten dilihat dari pertumbuhan penduduk. Sebuah ironi karena pertumbuhan penduduk yang kurang kompeten justru menaikkan kebutuhan fiskal.
Pemerintah daerah semakin ketergantungan dengan dana transfer dari pusat. Namun, di sisi lain kapasitas tranfer pemerintah pusat ternyata juga tidak mencukupi. Sehingga salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mensiasati pelaksanaan transfer DAU berdasar UU No 33 Tahun 2004 dengan memasukkan aspek transisi demografi pada aspek penduduk. Kebijakan produktivitas tenaga kerja juga perlu digalakkan agar dapat menyeimbangkan perkembangan kebutuhan fiskal dengan kemampuan tranfer pemerintah melalui peningkatan penerimaan pajak.
Keempat, masih terdapatnya persaingan antarpemerintah daerah. Persaingan ini timbul dari persaingan pajak (
tax competition) antardaerah sebagai sumber PAD masing-masing. Pemotongan pajak lokal secara sepihak oleh satu daerah guna menarik investor akan diikuti oleh daerah lain agar tidak kehilangan investornya masing-masing.
Perang tarif pajak inilah yakni menyebabkan PAD lebih kecil dari yang seharusnya. Hal ini sejatinya merupakan hal yang lumrah dan memaksa pemerintah untuk melakukan reformasi perubahan demi menghadapi tantangan global yang lebih kompleks. Sehingga pemerintah pusat dalam hal ini perlu menetapkan kebijakan standar tarif pajak yang layak agar penurunan tarif pajak tidak berada di bawah batas yang telah ditentukan, juga mengajak pemerintah daerah untuk ikut bersama melakukan perubahan.
Kelima, kenaikan DAU dipersepsikan sebagai kenaikan tanggung jawab yang dibebankan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu, penyesuaian belanja pemerintah daerah akan lebih tinggi daripada kenaikan DAU itu sendiri. Jika kita melihat realisasi belanja pemerintah daerah, kualitas belanja daerah masih kurang bagus. Rata-rata 45 persen anggarannya habis untuk membayar pegawai. Bahkan ada yang lebih dari itu. Sehingga untuk setiap kebutuhan pembangunan penting lainnya akhirnya pemerintah daerah menggantungkan kembali pembiayaan APBD pada transfer dari pusat.
Solusi yang mungkin dapat mengatasi hal ini adalah dengan menetapkan batas atas belanja pegawai dan batas minimum belanja modal. Selain itu sudah sepantasnya pemerintah menetapkan sistem reward and punishment agar atas setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terdapat konsekuensi yang harus ditanggung, baik itu hadiah maupun hukuman.
Terakhir, adanya kekhawatiran apabila daerah memiliki sumber keuangan yang tinggi, hal itu akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme. Bukan hal yang baru di Indonesia, hal serupa pernah terjadi dari pemisahan diri Timor Leste sebagai bagian dari NKRI. Hal ini pula yang dikhawatirkan akan terjadi, jika secara finansial daerah dapat membiayai kebutuhannya tanpa mengandalkan transfer dari pemerintah pusat, daerah tersebut akan berani untuk memisahkan diri dari bagian NKRI.
Dalam konteks ini perlu pemahaman fundamental kembali secara umum kepada masyarakat, dan secara khusus kepada para pemimpin daerah sebagai pengambil keputusan tingkat daerah atas Pasal 1 Ayat 1 Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Tidak terdiri dari negara-negara bagian sebagaimana di Amerika Serikat, Australia, India, dan sebagainya.
Dalam konteks desentralisasi fiskal, Indonesia tengah menggunakan pola hubungan fiskal antar pemerintahan (fiscal intergovernmental relationship) dengan model Keuangan Federal (Federal Finance), di mana batas-batas resmi, penyerahan fungsi, wewenang, serta pembiayaannya sudah diatur melalui sebuah undang-undang. Model ini sudah sangat cocok mengingat Indonesia memiliki banyak keragaman dalam aspek demografis dan etnis. Undang-undang yang mengatur otonomi daerah dan desentralisasi fiskal ini diharapkan ke depannya dapat mengakomodasi setiap kebutuhan baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Juga mewujudkan kemandirian fiskal seperti yang diharapkan dari implementasi desentralisasi fiskal ini.