Pengusaha Dikasih Diskon Tarif Listrik, tapi Kayaknya Sudah Terlambat

0
109

Pemerintah membebaskan biaya minimum tarif listrik 40 jam bagi sektor industri yang bisnisnya terdampak pandemi virus Corona (COVID-19). Stimulus itu diumumkan pada akhir Juli 2020, dan mulai berlaku untuk tagihan rekening Agustus.

Sementara, untuk tagihan Juli diberlakukan pengembalian dana atau restitusi oleh PT PLN (Persero) dengan pengurangan tagihan pada bulan-bulan berikutnya, mulai September.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menyambut baik stimulus tersebut. Namun, menurutnya stimulus ini berlaku terlambat, ketika para pengusaha hotel sudah terlanjur membayar tarif listrik dengan biaya minimum sejak Maret-Juli lalu di tengah operasional yang sudah tertekan akibat pandemi virus Corona (COVID-19).

“Biaya minimum 40 jam memang dihilangkan. Nah kalau hotel-hotel tutup lagi itu mungkin baru akan dirasakan manfaatnya. Tapi kalau yang kemarin kan sempat terima tamu lagi, jadi ya nggak berdampak. Nah sedangkan dari bulan Maret sampai Agustus itu kan belum ada ketentuan itu, jadi sudah terlanjur bayar juga kemarin minimal 40 jam, kalau nggak listriknya dimatikan. Jadi stimulusnya telat,” kata Hariyadi dalam wawancara khusus bersama detikcom, Kamis (17/9/2020).

Selain itu, menurutnya pembebasan tarif minimum hanya terasa jika hotel tutup. Namun, jika operasional hotel sudah aktif kembali, maka tarif listrik yang dibayarkan tetap disesuaikan dengan pemakaian. Meski begitu, menurutnya akan banyak pengusaha hotel yang memanfaatkan stimulus itu saat ini, di mana PSBB Jakarta diperketat kembali, dan aktivitas masyarakat kembali berkurang.

“Kalau listrik belum terlihat. Itu pun kalau kami tidak bekerja optimal, kalau kami tutup. Tapi kan kami nggak mengharapkan tutup. Tapi ya kalau tutup baru dapat minimum surcharge nggak bayar, dan potongan tarif itu kan kecil. Minimum surcharge baru terasa kalau kita tutup. Karena sebelumnya dari bulan Agustus itu kan banyak yang tutup, itu tetap bayar minimum surcharge, nah itu yang memberatkan kemarin. Tapi nanti kalau kita beroperasi lagi, lebih dari minimal pemakaian 40 jam itu, ya berarti kan kita bisa masih memenuhi operasional. Jadi minimum surcharge itu lebih efektif kalau kita tutup atau pemakaian kita di bawah 40 jam itu. Tapi ya kita nggak tahu, ini kan sekarang mulai PSBB lagi, jadi mungkin bisa dimanfaatkan ya sekarang-sekarang,” urai dia.

Selain itu, ia juga merasa insentif untuk sektor pariwisata seperti stimulus pajak hotel dan restoran yang dianggarkan Rp 3,8 triliun melalui sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemda juga belum berdampak signifikan. Ia mengungkapkan, hanya ada 1 stimulus yang mulai terasa dampaknya.

“Saya rasa stimulus yang paling bermanfaat itu yang dinikmati karyawan, yang BLT itu. Kalau perusahaan lebih ke relaksasi utang memang membantu. Tapi kalau yang lain belum,” tuturnya.

Meski begitu, menurutnya stimulus ini hanya memberikan dampak sementara. Ia menegaskan, kunci untuk membangkitkan lagi sektor pariwisata ialah meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk berwisata kembali, meningkatkan permintaan melalui penanganan COVID-19 yang efektif.

“Yang dibutuhkan itu sebetulnya demand-nya balik, itu yang kami harapkan. Stimulus itu kan sifatnya sementara. Mau berapa pun, kalau masyarakatnya nggak bisa beraktivitas ya nggak pengaruh juga, pasti jauh lebih jelek lagi. Makanya kita berharap penanganan virusnya ini paling penting,” pungkasnya.