Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyebut bahwa tunjangan hari raya (THR) yang didapat oleh pegawai negeri sipil (PNS) dan karyawan swasta terpotong pajak.
Potongan pajak itu diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2006 Tahun 2006 tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-545/PK/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.
Adapun, pengenaan pajak terhadap THR dikarenakan tunjangan masuk dalam kategori tidak teratur. Sebab dapatnya hanya satu kali dalam setahun.
Lalu, bagaimana cara perhitungan pajaknya? Simak selengkapnya di sini:
Tunjangan hari raya (THR) ditunggu-tunggu pegawai negeri sipil maupun swasta setiap bulan ramadhan. Tapi ingat, uang THR yang diterima harus dipotong pajak.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyebut, dibalik berkah mendapatkan THR. Para pegawai yang merupakan wajib pajak (WP) harus membayarkan pajak THR.
“Betul (terkena pajak),” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Selasa (21/5/2019).
“THR itu seperti tunjangan atau penghasilan lainnya yang merupakan objek PPh dan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21/26 oleh pemberi THR,” ujar Hestu.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyebutkan, tunjangan hari raya (THR) yang didapat pegawai negeri sipil (PNS) maupun pegawai swasta ada kewajiban pajak yang harus dibayarkan.
Pasalnya, THR merupakan masuk dalam kategori pengehasilan tidak teratur dan diatur sesuai ketentuan yang berlaku. Lalu, siapa yang menanggung pajak THR? Karyawan atau perusahaan?
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan, pembayaran pajak THR sebetulnya menjadi tanggung jawab pegawai.
“Secara substansi, PPh itu merupakan beban penerima penghasilan, dalam hal ini karyawan,” kata Hestu saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Selasa (21/5/2019).
Meski demikian, kata Hestu, jika dalam praktiknya ada juga perusahaan yang membayarkan kewajiban pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dan 26 dari THR pun tidak menjadi soal. Sebab, lanjut Hestu, hal itu juga diperbolehkan.
Berdasarkan aturan yang berlaku, pengenaan pajak THR berlaku bagi pegawai yang berpenghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang sebesar Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54.000.000 per tahun.
Jika penghasilan melebihi batas ketentuan tidak kena pajak, maka akan terkena pajak penghasilan (PPH) Pasal 21/26. Penghasilan yang terpotong pajak ini berlaku bagi penghasilan teratur seperti gaji, maupun tidak teratur seperti THR dan bonus.
Adapun, total penghasilan netto bagi pegawai yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan sebesar 5% dari penghasilan bruto setinggi-tingginya Rp 500.000 sebulan dan Rp 6.000.000 setahun.
Lalu, dikurangi iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menkeu atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menkeu.
Lalu, ada tambahan Rp 375.000 sebulan atau Rp 4,5 juta per tahun bagi wajib pajak status kawin, dan tambahan Rp 375.000 per bulan atau Rp 4,5 juta per tahun untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam satu garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang setiap keluarga.
detikFinance mencoba melakukan simulasi pada pegawai yang belum menikah. Sebut saja Andi yang bekerja di PT ABCD dengan gaji sebulan Rp 5.000.000 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 80.000/bulan. Andi mendapat bonus atau THR sebesar sebulan gaji yaitu Rp 5.000.000.
Jika ingin mengetahui besaran pajak THR yang harus dibayar Andi harus menghitung terlebih dahulu total penghasilan bruto, penghasilan neto dan total penghasilan yang dikenakan pajak PPh 21.
Jika gaji Andi Rp 5.000.000 per bulan, maka setahun Rp 60 juta, ditambah dengan THR Rp 5.000.000 total penghasilan brutonya menjadi Rp 65 juta dalam setahun.
Penghasilan bruto akan dikurangi biaya pengurangan seperti biaya jabatan sebesar 5%, serta biaya iuran pensiun yang dikalikan selama satu tahun. Dari situ, maka akan diperoleh penghasilan neto sebesar Rp 60.790.000.
Penghasilan neto ini akan dikurangi penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang sebesar Rp 54.000.000 per tahun. Sehingga didapat Rp 6.790.000.
Terakhir, besaran tersebut harus dikalikan PPh Pasal 21 sebesar 5%. Hasilnya Rp 339.500
Nah untuk mengetahui berapa pajak THR yang harus dibayarkan juga harus menghitung pajak PPh Pasal 21 untuk gaji atau penghasilan selama setahun dengan rumus yang sama. Jika penghasilan netto Rp 60.000.000 setahun dengan biaya pengurangan yang sama maka PPh Pasal 21 nya sebesar Rp 102.000.
Dengan begitu, pajak THR yang harus dibayar Andi adalah sebesar Rp 237.500 yang berasal dari PPh Pasal 21 untuk gaji dan THR sebesar Rp 339.500 dikurangi dengan PPh Pasal 21 untuk gaji saja sebesar Rp 102.000.
Dengan begitu, maka THR yang diterima Andi adalah Rp 5.000.000 dipotong pajak Rp 237.500 menjadi Rp 4.762.500.