Pemerintah saat ini tengah melakukan reformasi pajak demi mendorong kepatuhan dan penerimaan negara. Meski demikian, hal ini tak bisa dilakukan sendiri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, reformasi pajak memerlukan kerja sama dengan negara lain. Apalagi, banyak perusahaan di Indonesia yang kantor utamanya di berada luar negeri.
“Mobilisasi sumber daya domestik sangat penting dibangun di banyak negara anggota ADB (Asian Development Bank), termasuk Indonesia.
Kami mereformasi pajak untuk meningkatkan tax ratio yang rendah, tetapi kami tidak dapat melakukannya sendiri,” ujar Sri Mulyani dalam webinar ADB, Kamis (17/9).
Di negara-negara Asia-Pasifik pun memiliki kebutuhan yang sama, yakni meningkatkan penerimaan negara. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menilai, kerja sama dengan seluruh negara juga diperlukan untuk memperbaiki rasio pajak di masing-masing negara.
Berdasarkan data ADB pada 2018, rata-rata rasio pajak di negara Asia masih lebih rendah dibandingkan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Rata-rata rasio pajak OECD mencapai 24,9 persen, sementara negara berkembang di Asia sebesar 17,6 persen.
Rasio pajak terendah berada di Asia Tenggara, dengan rata-ratanya sebesar 14,8 persen. Begitu juga dengan Asia Selatan yang rata-rata rasio pajaknya hanya 15,3 persen.
Untuk Indonesia sendiri, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah juga sudah mulai melakukan reformasi pajak demi meningkatkan rasio pajak. Misalnya, Indonesia memerangi praktik penggerusan pajak dan pengalihan laba ke negara lain, serta bekerjasama dengan negara lain untuk mencegah penghindaran pajak.
“Indonesia juga terus bersiap memerangi praktik penggerusan basis pajak dan pengalihan laba/base erosionand profit shifting (BEPS), serta menjalin banyak kerja sama persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) untuk mencegah penghindaran pajak karena Indonesia menganut ekonomi terbuka,” jelasnya.
Meski demikian, Sri Mulyani menekankan bahwa tidak semua upaya reformasi pajak itu bisa dilakukan sendiri di dalam negeri. Dia menilai, Indonesia dan negara-negara di kawasan perlu saling bertukar pengalaman dan pengetahuan mengenai kebijakan reformasi pajak.
“Kami juga membutuhkan banyak dukungan dan benchmarking yang dapat diberikan oleh lembaga multilateral seperti ADB, IMF, dan World Bank,” pungkasnya.